Skip to main content
Artikel

GLOBALISASI SEBAGAI POLA PERKEMBANGAN GOLDEN TRIANGLE DALAM PERDAGANGAN NARKOBA DI KAWASAN ASIA TENGGARA

Dibaca: 4 Oleh 26 Sep 2024Tidak ada komentar
GLOBALISASI SEBAGAI POLA PERKEMBANGAN GOLDEN TRIANGLE DALAM PERDAGANGAN NARKOBA DI KAWASAN ASIA TENGGARA
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

Globalisasi adalah salah satu fenomena internasional yang paling signifikan dalam menciptakan tatanan kehidupan baru yang saling bergantung dan terintegrasi sebagai akibat dari pertumbuhan hubungan internasional yang cepat yang disebabkan oleh transfer teknologi dan data yang cepat. Hal ini berimplikasi pada terjadinya kejahatan berbasis pada kecanggihan dunia yang semakin modern. Selain globalisasi, migrasi, kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat juga dapat menyebabkan peningkatan kejahatan transnasional. Arus globalisasi yang dibarengi dengan kemajuan di segala aspek menyebabkan hubungan antar bangsa, masyarakat, dan individu semakin dekat, saling tergantung, dan saling mempengaruhi satu sama lain. Pergerakan lintas batas negara yang semakin meningkat ini akhirnya menyebabkan munculnya masalah baru yang dikenal sebagai transnational crime atau kejahatan transnasional. Fenomena mengkibatkan angka kejahatan transnasional semakin meningkat seiring berjalannya waktu dan menyebar dengan cepat ke seluruh dunia.

Kejahatan di bidang penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu jenis kejahatan transnasional yang paling krusial karena peredarannya yang dapat melintasi batas-batas negara melalui jaringan yang kuat dan teknologi yang canggih. Asia Tenggara sebagai kawasan yang strategis dengan jalur pelayaran yang ramai dan padat tidak hanya digunakan untuk aktivitas perniagaan komoditas seperti hasil tambang atau hasil alam namun juga digunakan sebagai jalur perdagangan narkoba internasional. Negara-negara pemasok seperti Malaysia, Cina, India, Iran, dan Belanda bahkan menyumbang 49% dari peredaran narkoba global. Perkembangan dunia yang dinamis dan tidak terhindarkan membuat batas non-fisik antar negara menjadi semakin sulit untuk dibedakan dalam era globalisasi.

Proses pembangunan menuju globalisasi selama beberapa tahun terakhir telah menghasilkan peningkatan keterbukaan dalam aspek ekonomi global. Peningkatan keterbukaan ini telah mendorong perkembangan teknologi yang pesat dalam bidang transportasi, telekomunikasi, dan perjalanan yang mendorong terbukanya peluang investasi di antara negara-negara. Di era sekarang hampir semua negara telah membuka diri secara luas kepada investor asing. Karena dianggap sebagai bisnis yang menjanjikan, industri narkotika menjadi sangat digandrungi oleh masyarakat. Dalam perkembangannya, penjualan narkoba kini tidak hanya dilakukan oleh individu namun berkembang menjadi sindikat internasional. Sindikat ini menggunakan berbagai cara untuk dapat menjual dan memasarkan narkoba secara ilegal ke negara tujuannya. Modus operasi sindikat pelaku peredaran gelap narkoba ini juga semakin berkembang karena kemajuan teknologi dan komunikasi. Negara yang mengalami kejayaan ekonomi dari bisnis terlarang tersebut kemudian saling bergantung satu sama lain dan bekerja sama untuk memudahkan perdagangan narkoba lintas negara.

Asia Tenggara menjadi kawasan berkembangnya isu peredaran dan perdagangan narkoba (drugs trafficking). Data ASEAN NARCO menunjukkan bahwa hingga tahun 2015, Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan ladang (cultivation), produksi (manufacturing), dan perdagangan (trafficking) narkoba ilegal. Jenis dan tipe narkoba yang dihasilkan akan terus berubah mengikuti perkembangan zaman, serta arus perdagangan dan kemudahan penggunaannya pun juga ikut berubah. Sering kali masalah ini disebabkan oleh kurangnya penegakan hukum dan pengawasan yang ketat dari institusional pemerintah sehingga mendorong semakin suburnya bisnis perdagangan obat-obatan terlarang di Asia Tenggara. Kondisi tersebut diperparah dengan keberadaan Golden Triangle. Dinamakan Golden Triangle atau Segitiga Emas karena merupakan kawasan berbentuk segitiga yang terbentuk oleh perbatasan Laos, Myanmar, dan Thailand. Daerah ini merupakan daerah pegunungan seluas 950 km persegi yang lahannya digunakan untuk penanaman opium. Tiga negara ini berkontribusi atas 60% produksi heroin dan opium skala global dan menyumbang sebesar US$ 160 Milyar yang dihasilkan dari industri herion setiap tahunnya.

Drug trafficking tidak hanya terjadi diantara anggota Golden Triangle saja, akan tetapi hampir disetiap negara Asia Tenggara. Di Brunei Darussalam misalnya, pemerintah menemukan peningkatan yang drastis dari pengguna ekstasi, methampetamine kristal, dan ganja. Di sisi lain, methamphetamine dalam bentuk pil, kristal, dan bubuk adalah yang jenis narkoba yang paling sering dijumpai di Kamboja. Indonesia juga adalah penghasil ganja terbesar terutama di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan ladang ganja yang terbentang luas. Kondisi iklim dan tanah di sana membuat ganja dapat tumbuh subur tanpa teknik pertanian khusus. Selain ganja, Indonesia juga menghasilkan narkoba seperti heroin, ekstasi, dan sabu-sabu. Sebagai bagian dari Golden Triangle, Laos juga memiliki empat narkotika yang beredar luas dipasar gelap drug trafficking yaitu heroin, ganja, opium, dan methampetamine pils. Sedangkan Malaysia memiliki banyak jenis narkotika yang lebih beragam, termasuk morfin, ganja, opium ekstasi, dan heroin. Myanmar sebagai anggota Golden Triangle, jelas menjadi penghasil heroin terbesar dikarenakan zat opium dan bahan dasar heroin banyak berasal dari sana.

Di Filipina, pemerintah harus lebih ekstra melakukan pengawasan karena sabu-sabu dan ganja masuk dengan pesat dibeberapa daerah di negara tersebut. Cukup berbeda dengan Filipina, pemerintah Singapura lebih mudah dalam menangani permasalahan produksi dan penggunaan narkoba dikarenakan kondisi geografis Singapura yang kecil sehingga lebih sedikit kemungkinan terjadinya penyebaran yang lebih luas dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Kemudian Thailand yang menjadi negara transit narkotika ke pasar internasional. Vietnam adalah salah satu negara yang berhasil memerangi peredaran narkotika di negaranya. Pengaruh Golden Triangle yang besar dalam regional Asia Tenggara membuat arus perdagangan narkoba semakin merajalela. Ancaman yang paling ditakutkan adalah rusaknya kualitas sumber daya manusia khususnya generasi muda sebagai harapan bangsa.

Setelah berhasil menguasai pasar perdagangan narkoba di Asia Tenggara, tujuan peredaran narkoba Golden Triangle semakin luas mencakup negara-negara di Eropa seperti Amerika Serikat dan Brazil serta di kawasan Asia Tengah. Berbagai jenis narkotika tersebut akan dikirim melalui rute khusus yang dikenal sebagai rute perdagangan gelap narkotika. Dalam Golden Triangle, tiga aktor utamanya memainkan peran yang sama besar dalam melancarkan arus perdagangan narkoba tingkat regional maupun internasional. Dengan Myanmar yang berperan sebagai penghasil opium terbesar di dunia, kemudian Laos yang menjadi penghasil opium terbesar kedua, dan Thailand dengan penghasil dan penjualan ekstasi, sabu-sabu, dan narkoba cair lainnya. Produksi narkoba di wilayah tersebut termasuk dalam kategori obat-obatan terlarang atau narkotika dan potential addictive yang terbuat dari tanaman opium poppy dan papaver somniferum yang menghasilkan heroin.

Menurut data yang ditampilkan oleh World Drug Report tahun 2016, dari tahun 2000 hingga 2015, area penanaman opium dan heroin di Asia Tenggara rata-rata mencapai 59.625 hektar. Selain itu, produksi opium dan heroin siap edar di Asia Tenggara rata-rata mencapai 695 ton. Laporan tersebut menunjukkan bahwa selain luas lahan dan jumlah produksi opium dan heroin, masyarakat di Asia Tenggara juga menggunakan tiga jenis zat adiktif lainnya pada tahun 2014. Pada tahun tersebut, hampir 470.000 orang menggunakan kokain sebagai zat adiktif, 9.100.000 pengguna amphetamine dan 3.210.000 pengguna ekstasi.

Meskipun ada banyak jenis narkoba yang diketahui, namun ada dua jenis paling utama yang diperjual belikan di pasar Asia Tenggara, yaitu heroin dan kokain. Kokain dibuat dari daun tanaman koka (Erythroxylon coca) yang merupakan tanaman asli Amerika Selatan. Kokain dapat dihirup melalui hidung, disuntikkan ke aliran darah, digosokkan ke gusi, atau diisap. Sedangkan heroin adalah jenis narkotika yang dibuat dari morfin yang diekstraksi dari tanaman opium tertentu. Umumnya heroin berbentuk bubuk dengan warna putih kecoklatan, atau berwarna hitam dengan zat lengket yang seringkali dicampur dengan zat lain yang membuat penggunanya akan mengalami ketagihan atau overdosis jika digunakan secara berlebihan. Kawasan Asia Tengah dikenal sebagai lokasi peredaran dan penyelundupan narkoba terbesar di dunia yang diprakarsai oleh Bulan Sabit Emas atau Golden Crescent yang terletak diantara perbatasan antara Afganistan, Pakistan, dan Iran. Sehingga tidak heran jika opium sering ditemukan di Golden Crescent dan Golden Triangle, yang menjadikan kedua kawasan ini dianggap sebagai pusat distribusi heroin internasional.

Dalam melancarkan aksinya, para sindikat pengedar narkoba lintas negara akan menggunakan berbagai strategi untuk menghindari pengawasan dan penjagaan aparat keamanan. Para sindikat pengedar biasanya akan menggunakan teknologi seperti internet atau perangkat lainnya dengan memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram untuk memperluas jaringannya serta untuk berkomunikasi secara langsung dengan para mafia narkoba lainnya yang berada di negara berbeda. Transnational crime yang terorganisir dan terkoordinasi dengan rapi membuat peningkatan drug trafficking semakin pesat didorong oleh kemajuan teknologi, kemudahan transportasi, dan pertumbuhan ekonomi global. Jaringan kejahatan lintas batas negara ini mengadopsi teknologi yang semakin canggih dan menerapkan struktur sistem yang semakin sulit dilacak.

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) melaporkan bahwa terjadi pergeseran dari opium ke metamfetamin yang telah terjadi di pasar narkoba di Asia Timur dan Asia Tenggara. Di Thailand saja, jumlah tablet metamfetamin yang disita pada tahun 2018 menjadi 17 kali lipat dari tahun sebelumnya. Sebanyak tiga belas negara di wilayah tersebut, kecuali Vietnam, mengeluarkan laporan bahwa metamfetamin adalah obat utama mereka sehingga menimbulkan kekhawatiran masyarakat global pada 2018. Di sisi lain, jumlah opium yang diperkirakan diproduksi di Myanmar telah menurun sebesar 40% dari 2013 hingga 2018.

Menghadapi ancaman dari pengedaran dan penyalahgunaan narkoba sebagai ancaman non-tradisional, berbagai upaya pendekatan dan penanganan termasuk kerja sama antar negara di Asia Tenggara dilakukan. Untuk menghentikan kasus drug trafficking, sepuluh negara ASEAN secara aktif berpartisipasi dan mengambil inisiatif penting untuk berbagi informasi penting untuk mengukur tindakan apa yang akan diambil selanjutnya. Negara-negara ASEAN juga menyita narkoba secara besar-besaran. Bahkan di Indonesia, aktivitas penyelundupan narkoba terungkap melalui jalur laut dari Singapura. Narkotika tersebut ditaksir senilai 36,36 miliar rupiah (2,5 juta U$D). Selain itu, upaya ASEAN semakin digalakkan, salah satunya dengan mengumpulkan para pakar narkoba pada pertemuan tahunan para pejabat senior. Tujuannya adalah untuk melacak dan mengevaluasi upaya lima kelompok kerja dalam hal pendidikan pencegahan, penegakkan hukum, perawatan dan rehabilitasi, penelitian, dan peluncuran inisiatif baru untuk menangani masalah ini.

Sebagai negara yang memiliki pengaruh cukup besar di ASEAN, Indonesia berperan aktif dalam perdagangan narkoba melalui kolaborasi dengan banyak negara tetangga dalam upaya penanganan narkoba. Indonesia berpartisipasi dalam berbagai inisiatif, salah satunya adalah sebagai sekretariat Satuan Tugas Pelarutan Pelabuhan ASEAN (ASITF) dan sebagai anggota aktif dari Tugas Interdiksi Bandara ASEAN (AAITF). Melalui berbagai kerjasama antara ASITF dan AAITF, negara-negara ASEAN akan bekerja dengan memanfaatkan wadah tersebut untuk bertukar informasi, mengatur pertemuan rutin, mengadakan rapat, dan secara inklusif membahas masalah narkoba. Secara spesifik, Indonesia juga berkontribusi dalam memberikan gambaran rute peredaran narkoba yang masuk ke wilyah Indonesia. Dengan langkah ini, penyeludupan narkoba secara perlahan dapat ditekan.

Sebagai implementasi dari komitmen-komitmen yang dibuat sebelumnya, ASEAN juga mendirikan ASEAN Advanced Official Drug Problem Organization (ASOD) sebagai forum regional negara-negara ASEAN untuk menyelaraskan perspektif, metode, dan strategi negara-negara anggota. Lima negara anggotanya yaitu Myanmar, Laos, Thailand, China, dan India, mempelopori “Deklarasi Chiang Rai” yang berfokus pada penanganan Golden Triangle. ASOD juga membentuk ASEAN Drug-Free Work Plan, yang beroperasi selama dua periode, yaitu pada tahun 2009–2015,dan tahun 2016–2020. Pada pertemuan 33 ASEAN Minestrial Meeting, para Menteri negara anggota ASEAN menyepakati bahwa narkotika atau obat-obatan ilegal adalah masalah besar bagi regional Asia Tenggara. ASEAN Drug-Free Area lalu dibangun sebagai hasil dari komitmen ASEAN untuk memerangi ancaman narkoba di kawasan Asia Tenggara, yang kemudian menghasilkan ASEAN Drug-LA untuk dapat mencapai tujuan “ASEAN Drug-Free Area”. Langkah ini dapat dikatakan sukses dilihat dari pengurangan yang signifikan dalam budidaya tanaman ilegal, pembuatan dan perdagangan gelap obat-obatan terlarang, dan kejahatan terkait.

Dalam skala internasional, PBB berperan besar dalam mendukung upaya-upaya memberantas drug trafficking. Dimana pengaturan hukum terkait narkotika diatur pertama kali dalam The United Nation’s Single Convention on Narcotic Drugs Tahun 1961 yang kemudian dilakukan penyempurnaan atau amandemen dengan Protokol Tahun 1972 tentang Perubahan atas UNSCND Tahun 1961. Selain itu, ada beberapa konvensi internasional lainnya yang berkaitan dengan masalah narkoba. Beberapa di antaranya adalah UNCTOC dan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances tahun 1988. Pada tahun 1976, menteri luar negeri dari negara-negara anggota ASEAN menandatangani Declaration of Principles to Combat the Abuse of Narcotic Drugs di Manila, Filipina. Deklarasi tersebut kemudian menghasilkan kesepakatan kerjasama bilateral, regional, dan global antar negara-negara, dalam upaya ASEAN untuk memerangi kejahatan transnasional berkonsentrasi pada penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, yang berdampak signifikan pada pertumbuhan dan kemajuan negara-negara ASEAN.

Terlepas dari berbagai kesepakatan, upaya kerjasama serta forum-forum yang dibentuk dalam tingkat regional maupun internasional, faktanya tidak cukup untuk menghentikan peredaran narkoba di Asia Tenggara. Hal ini disebabkan oleh penegakan hukum yang tidak tegas terkait masalah narkoba diantara negara-negara ASEAN. Pelaku perdagangan narkoba kerap kali lolos dari tindakan hukum karena adanya keterlibatan institusi negara yang merasa diuntungkan oleh bisnis narkoba. Selain itu, dalam kasus ini globalisasi dipandang menjadi promotor utama munculnya kejahatan transnasional seperti drug trafficking, money laundering dan terrorisme serta isu-isu kriminalitas lainnya yang kini berkembang luas. Globalisasi dan pergerakan transnasional didukung oleh jaringan yang sangat luas, mengakibatkan runtuhnya batas negara atau tidak adanya batas antara negara satu dengan negara lainnya. Akibatnya, perilaku dan aktivitas yang dilakukan oleh individu atau suatu kelompok tidak terpantau dengan baik oleh pemerintah. Arus globalisasi membuat orang-orang yang tidak bertanggung jawab dapat melakukan kejahatan dengan mudah, menyebabkan kerugian di segala aspek, baik itu sosial, ekonomi, politik, hingga keamanan nasional suatu negara. (AR)

REFERENSI

Azmi, Novia, ‘Pengaruh Globalisasi Terhadap Peredaran Narkotika Di Asia Tenggara Tahun 2011-2015’, Jom Fisip, 4.1 (2017), 1–13

Bunge, Mario, Drug, Medical Philosophy, 2013 <https://doi.org/10.1142/9789814508957_0005>

Hendro, ‘Penanganan Dan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Harus Dilakukan Dengan Meningkatkan Kerjasama Antar Negara’ (indonews.id, 2020) <https://indonews.id/artikel/27816/Penanganan-dan-Pencegahan-Penyalahgunaan-Narkoba-Harus-Dilakukan-dengan-Meningkatkan-Kerjasama-antar-Negara/>

‘Heroin’ (United State Drug Enforcement Administration) <https://www.dea.gov/factsheets/heroin>

Majid, A, ‘Bahaya Penyalahgunaan Narkoba – Abdul Majid – Google Buku’, Semarang : Alprin, 2019 <https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=Ahz8DwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=golongan+golongan+penyalahgunaan+narkoba&ots=7KOLHlWUmy&sig=q5wl9__T_ygcmi84cUFX5HTUY4M&redir_esc=y#v=onepage&q=golongan golongan penyalahgunaan narkoba&f=false>

Nita, Ni Putu. dan Putrawan, Suatra, ‘Pengaturan Hukum Tindak Pidana Narkotika Sebagai Kejahatan Trans Nasional Di Kawasan Asia Tenggara’, Jurnal Hukum, 2016, 1–15

Ratih Frayunita Sari, ‘Dinamika Geopolitik Narkoba Di Asia Tenggara’ (Badan Narkotika Nasional Provinsi Kepulauan Riau, 2021) <https://kepri.bnn.go.id/dinamika-geopolitik-narkoba-asia-tenggara/>

Sandi, Ricky Kurnia, Ira Patriani, and Ori Fahriansyah, ‘Sovereign, Jurnal Hubungan Internasional Perbatasan Myanmar-Laos-Thailand)’, 2025 <https://jurmafis.untan.ac.id>

Tom Abke, ‘Negara-Negara ASEAN Bekerja Sama Untuk Membasmi Peredaran Narkoba’ (Indo-Pacific Defense Forum, 2019) <https://ipdefenseforum.com/id/2019/01/negara-negara-asean-bekerja-sama-untuk-membasmi-peredaran-narkoba/>

 

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel