
Penulis : Lalu Tresna Jaya, S.Sos, Penyuluh Narkoba Ahli Muda BNNP NTB
Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan dengan viral nya video seorang ibu yang bernama Santi yang membawa poster bertuliskan “Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis” di sebuah acara car free day, Bundaran hotel Indonesia Jakarta, pada 26 Juni 2022. Dalam video itu seorang ibu membentangkan poster sembari membawa anak yang mengidap penyakit (kelumpuhan otak), dan salah satu metode penyembuhannya membutuhkan media ganja sebagai obat.
Masyarakat kemudian dibuat gempar tentang hal tersebut, muncul wacana pro dan kontra terkait penggunaan ganja medis dalam pengobatan. Ada yang mendukung dan ada pula yang tidak bersepakat dengan penggunaan ganja medis sebagai pengobatan. Melihat fenomena tersebut tentu tidak serta merta dilihat dari proses penggunaan dan legalisasi nya. Kita perlu melihat secara komprehensif dampak buruk dan negatif yang bisa dihasilkan dari proses legalisasi ganja medis. Terutama dampak-dampak sosial kulturalnya.
Dalam jurnal Vegetation History and Archaeobotany, ganja pertama kali disebut berasal dari dataran tinggi Tibet yakni di danau qinghai. Sementara itu dalam kamus sejarah Indonesia disebutkan berasal dari laut Kaspia dan ada di pulau Jawa pada abad ke-10. Selain itu menurut direktur eksekutif yayasan sativa Nusantara Inang Winarso menyebutkan ganja pertamakali dibawa oleh pedagang dan pelaut Gujarat sebagai alat transaksi perdagangan yakni di Aceh pada abad ke – 14. Selama beratus tahun, ganja dimanfaatkan oleh masyarakat Nusantara untuk kepentingan ritual, pengobatan, bahan makanan dan pertanian.
Melihat hal tersebut, tentu ganja banyak memiliki manfaat ketika dipergunakan sebaik-baiknya dan semestinya. Namun dalam konteks hari ini penggunaan ganja medis sebagai alternatif kesehatan harus dilihat dari sudut pandang yang sangat luas, terutama dampak sosial jika hal tersebut menjadi legal. Hal senada disampaikan oleh Kepala Biro Humas dan Protokol BNN (Brigjen Sulistyo Pudjo) mengatakan proses legalisasi ganja medis harus dilihat dari aspek manfaat dan kerugian. Manfaat sendiri tentu dalam proses pengobatan penyakit terutama untuk mengontrol rasa sakit, seorang dokter dan pendidik Peter Grinspoon mengatakan penggunaan ganja yang terkontrol tidak menyebabkan overdosis, tidak membuat ketagihan, dan dapat menggantikan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID).
Namun saat ini, ganja masih berada di Golongan I. Perbedaannya adalah Narkotika golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya dengan daya adiktif sangat tinggi. Sedangkan Narkotika golongan II adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Narkotika golongan I sejatinya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun faktanya, penelitian terkait ganja masih minim dan sulit di Indonesia.
Karenanya penggunaan ganja medis sebagai pengobatan harus dilihat, di analisis secara objektif dan rasional. Semua pihak harus mampu menyalurkan pikiran dan pemahaman guna mendapatkan kesepahaman yang kuat. Dampak negatif dan positif harus menjadi pertimbangan yang kuat jika keputusan legalisasi ganja medis di sahkan. Jangan sampai karena tidak adanya pertimbangan yang kuat legalisasi ganja medis dapat menjadi bumerang yang dapat menjadi ancaman bagi kita semua. -lim-