Skip to main content
Artikel

MENGENAL DUAL DIAGNOSIS (PENYALAHGUNAAN NAPZA DAN GANGGUAN JIWA)

Dibaca: 1249 Oleh 23 Feb 2023Maret 6th, 2023Tidak ada komentar
MENGENAL DUAL DIAGNOSIS (PENYALAHGUNAAN NAPZA DAN GANGGUAN JIWA)
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

Penulis : Ns. Ni Made Arlanggawati, S.Kep

Dual diagnosis menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) merupakan suatu kondisi adanya sindrom klinis gangguan jiwa yang memiliki gangguan lain, termasuk gangguan yang berhubungan dengan obat dan narkotika, psikotropika serta zat adiktif lainnya (NAPZA) seperti gangguan penyalahgunaan alkohol, gangguan penyalahgunaan amphetamin, gangguan yang dipicu oleh penyalahgunaan ganja (cannabis), gangguan yang dipicu oleh anxiolitic, hipnotik, dan sedatif (obat penenang) (Maslim, 2013).

Menurut data Balai Besar BNN Lido pada 3 tahun terakhir (tahun 2017-2019) diperoleh data dari total individu yang dirawat inap maupun rawat jalan, dari 2211 teridentifikasi 3 kasus teratas individu yang di rehabilitasi karena penggunaan NAPZA yang berakibat pada gangguan mental dan perilaku, sekitar 38,2 % mengalami gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulan lain, 21,5% dengan gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan banyak obat dan penggunaan zat psikoaktif lainnya dan 14% gangguan mood afektif yang persisten. Sedangkan sekitar 1,8% mengalami gangguan mental dan perilaku karena penggunaan cannabis (BNN, 2020). Perubahan mental dan perilaku akibat penyalahgunaan NAPZA beresiko meningkatnya dual diagnosis pada individu tersebut.

Individu dengan dual diagnosis berisiko memiliki dampak lebih banyak jika dibandingkan dengan diagnosis tunggal. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa permasalahan fisik, psikologis maupun sosial yang kompleks terhadap orang sekitarnya (Roberts & Jones, 2012). Menurut The European Monitoring Centre of Drugs and Drug Addiction (EMCDDA) tahun 2015 (Hamdan et al., 2018). Prevalensi dual diagnosis yang semakin meningkat menjadi perhatian khusus terkait efek yang ditimbulkan. Konsekuensi sosial serta prognosis yang buruk dikarenakan tingginya ketidakpatuhan terhadap pengobatan; tingginya angka keinginan bunuh diri, dan peningkatan resiko kekerasan, masalah hukum, pengangguran, tidak diperdulikan, terkena penyakit fisik serta HIV dan penyakit infeksi lainnya seperti hepatitis C (Krupski et al., 2015).

Selain itu secara sosial, individu dengan dual diagnosis kehilangan dukungan, tekanan dalam keluarga yang berefek pada prilaku anti sosial, tunawisma dan penahanan. Disimpulkan kondisi individu dengan dual diagnosis berpengaruh terhadap kondisi kesehatan fisik dan psikologis serta permasalahan sosial bagi individu itu sendiri, keluarga maupun masyarakat sekitarnya.

Perubahan atau gangguan mental dan perilaku (Dual Diagnosis) dan penyalahgunaan obat atau zat yang mengandung narkotika dapat terjadi bersamaan atau kedua gangguan dapat terjadi masing-masing. Gangguan jiwa berat bisa mengancam kehidupan seorang pengguna narkotika. Ketua Tim Koordinator Assesment Badan Narkotika Nasional (BNN) pusat Dr Benny di Palembang, mengatakan pencandu Narkotika terancam menderita gangguan jiwa berat atau skizofrenia yang apabila jika sudah menyerang maka hampir dipastikan tidak bisa disembuhkan. Benny mengatakan, gangguan jiwa berat disebabkan kelainan secara kimiawi pada otak yang pada akhirnya mengganggu fungsi sistemik dan impuls syaraf otak. Kondisi ini mengakibatkan kegagalan fungsi otak dalam mengolah informasi dari dan ke panca indera, sehingga timbul proyeksi yang tidak seharusnya, seperti halusinasi baik secara visual, pendengaran atau proyeksi ingatan masa lalu. Kemudian, tingkah laku abnormal dan berdasarkan insting, delusi adalah keyakinan bahwa seseorang seolah-olah mengalami sesuatu (alam khayal), komunikasi kacau, suka menyendiri dan tidak dapat dikontrol.

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan hubungan antara masalah mental dan penyalahgunaan obat yaitu :

  1. Teori “Causality’’/etiologi

Teori penyebab mengatakan penyalahgunaan zat tertentu secara langsung ia dapat menyebabkan penyakit mental. Melalui teori penyebab ini, studi epidemiologi sukar untuk ditentukan, terdapat beberapa bukti yang mendukung adanya hubungan antara penggunaan cannabis dan pada kemudian hari timbul keadaan psikosis seperti skizofrenia. Teori ini masih kontroversi disamping terdapat peningkatan yang mendadak pada penggunaan cannabis sejak 40 tahun yang lalu pada masyarakat barat tetapi kasus skizofrenia masih relative stabil. Untuk mengatakan teori ini adalah benar, maka dalam hal penggunaan kanabis terdapat faktor yang lain yang dimana telah menutup efek dari penggunaan cannabis. Bagaimanapun terdapat peningkatan insiden dari segi gangguan bipolar, gangguan cemas menyeluruh dan ADHD yang hamper bersamaan dengan peningkatan dari penggunaan kanabis.

  1. Teori pengobatan sendiri

Teori ini menghubungkaitkan penyalahgunaan zat akibat dari pasien mencoba menghilangkan gejala dari masalah psikiatriknya secara sendiri. Untuk gejala psikiatrik misalnya dalam menggunakan amfetamin untuk menghilangkan rasa yang tidak senang yang merupakan salah satu gejala negatif psikosis.Untuk menghambat efek samping yang diakibatkan oleh obat-obat psikotik misalnya menggunakan kanabis sebagai cara untuk menghilangkan kekakuan pada otot akibat dari penggunaan obat antipsikotik atau menggunakan stimulant seperti kafein atau nikotin untuk menghambat efek sedasi yang disebabkan obat antipsikotik dosis tinggi. Melalui pelaporan didapatkan juga terdapat pasien yang mengurangi pengambilan obat antipsikotiknya pada saat gejala mentalnya semakin memburuk. Keterbalikannya, terdapat juga orang tertentu yang menggunakan obat seperti benzodiazepin atau obat sediaan opiate untuk melawan efek cemas dan insomnia yang disebabkan dari pengobatan SNRI antidepresan, venlafaxine atau bupropion.

  1. Teori mengeliminasi rasa disforia

Teori ini berpendapat bahwa orang dengan gangguan mental yang berat sering merasa tidak yakin dengan dirinya dan ini menjadikan seseorang itu lebih rentan untuk menggunakan zat psikoaktif untuk mengeliminasi perasaan tersebut.Perasaan disforia yang dialami pasien seperti anxietas, depresi,kebosanan dan sendirian.

  1. Teori faktor resiko multipel

Teori lain berpendapat antara penyebab untuk terjadinya penyalahgunaan zat dan penyakit mental adalah karena adanya factor resiko untuk seseorang menghidapi kedua keadaan tersebut. Hipotesis dari Mueser mengatakan antara faktor yang terlibat adalah isolasi sosial, kemiskinan, kekurangan aktivitas harian, kekurangan tanggungjawab sebagai seorang yang dewasa, tinggal didaerah yang sumber narkobanya mudah didapat dan berasosiasi dengan kelompok yang sudah terlibat dengan penyalahgunaan zat. Oleh karena itu pasien sering menggunakan alkohol atau narkoba yang dapat memberikan mereka rasa berkepentingan dan merasa dihargai berada didalam suatu kelompok individu yang mungkin menghadapi hal yang sama. Selain itu, pengalaman hidup yang traumatik seperti pernah mengalami

pelecehan seksual juga berkaitan erat dengan perkembangan dari masalah psikiatriks dan penyalahgunaan zat.

  1. Teori supersensitive

Penggunaan zat terlarang secara berlebihan dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan masalah kepada kesehatan mental dan fisikal. Semua bahan psikoaktif mempunyai efek untuk menyerupai atau dapat juga eksaserbasikan gejala psikiatrik.Penggunaan jangka panjang alcohol dapat menimbulkan efek depresi terhadap mood seseorang dan sukar untuk dibedakan dengan depresi secara klinikal. Gejala putus alkohol dapat juga mempresipitasi konfusi, cemas yang ekstrim dan psikosis. Penggunaan amfetamin pula dapat sangat mirip dengan skizofrenia.Penghentian mendadak amfetamin dapat menimbulkan gejala depresi sampai keinginan bunuh diri. Tidak menolak kemungkinan bahwa individu yang mengalami efek psikiatrik jangka lama akibat penggunaan zat mempunyai kerentanan yang tinggi terhadap masalah mental yang mana terpicu akibat penggunaan zatnya. Teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan perkaitan antara pengambilan zat terlarang dengan timbulnya episode pertama atau berlaku relaps dari masalah mental. Dikatakan juga bahwa individu dengan kesehatan mental yang parah adalah “supersensitif” terhadap efek dari zat yang digunakan.Oleh karena itu

walaupun pengambilan dosis zat tidak terlalu tinggi namun mempunyai efek yang sangat bermakna pada kesehatan mentalnya (Ishabel 2012).

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel