
Penulis: Lalu Tresna Jaya, S.Sos. (Penyuluh Narkoba Ahli Muda BNNP NTB)
Dukungan legalisasi ganja di Indonesia terus muncul mengikuti isu yang berkembang. Legalisasi ganja di Thailand pada Juni 2022 lalu untuk keperluan rekreasional serta viralnya seorang Ibu yang membawa papan bertuliskan “Tolong anakku butuh ganja medis” di Car Free Day Jakarta mendapat simpati masyarakat. Dukungan ini juga didasarkan pada keputusan The UN Commission on Narcotic Drugs (CND) yang telah menghapuskan ganja dari golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961 sehingga ganja dianggap tidak memiliki resiko tinggi kematian serta memiliki manfaat medis layaknya penelitian di berbagai negara (World Health Organization Department News 2020).
Banyaknya informasi beredar di media sosial yang tidak berimbang serta tidak memberikan pemahaman komprehensif atas gagasan tersebut menyebabkan dukungan atas legalisasi ini tidak memiliki alasan atau urgensi yang tepat di Indonesia. Tak sedikit dari masyarakat masih beranggapan bahwa ganja adalah tanaman yang sangat ampuh dalam mengobati penyakit kronis tertentu, mendukung pembangunan dan promosi pariwisata maupun perekonomian.
Secara hukum, berdasarkan Lampiran I Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tanaman ganja dimasukkan ke dalam Narkotika Golongan I yang hanya dapat digunakan untuk keperluan ilmu pengetahuan dan penelitian dan tidak digunakan untuk keperluan terapi dan pengobatan serta berpotensi mengakibatkan ketergantungan yang kuat. Mahkamah Konstitusi juga belum mengubah regulasi mengenai ganja dengan menimbang dampak buruk yang akan terjadi bagi masyarakat secara luas.
Dari segi medis, sampai hari ini berbagai penyakit yang diasumsikan bisa diobati dengan ganja masih memiliki obat-obatan yang aman digunakan dan terbukti efektif. Belum ada uji klinis dan hasil pengembangan obat yang baik untuk tanaman ganja yang dapat menjadi pengobatan utama dan aman digunakan. Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., menyampaikan bahwa kandungan cannabidiol (CBD) yang ada pada tanaman ganja memang dapat dijadikan sebagai obat anti-kejang, namun akan diikuti oleh efek negatif bagi mental karena tanaman ganja memiliki tetrahydrocannabinol (THC) yang sangat tinggi sehingga bukan menjadi solusi (Ika 2022).
Pengembangan ganja untuk keperluan medis di beberapa negara juga diikuti dengan penelitian dan rekayasa genetik dengan meningkatkan jumlah kandungan CBD dan meminimalisir kandungan THC sehingga aman digunakan sebagai terapi maupun pengobatan. Namun, hal tersebut diterapkan di negara-negara maju seperti Australia dan Jerman yang memiliki fasilitas penelitian dan pengawasan hukum yang baik sehingga meminimalisir penyalahgunaannya. Berbeda dengan Indonesia, hal ini justru memberikan ancaman penyalahgunaan narkotika yang dapat dimanfaatkan bagi pelaku kejahatan narkotika. Bahkan saat ini ketika negara menetapkan darurat narkoba serta pengawasan oleh kepolisian dan BNN masih terdapat celah bagi Bandar maupun pengedar narkoba, lalu bagaimana ketika ganja akan dilegalkan?
Dari sisi ekonomi, banyak pihak yang mendorong legalisasi ganja untuk meningkatkan perekonomian entah untuk pariwisata, pajak, maupun pengobatan yang lebih murah. Namun, hal ini merupakan pemahaman yang keliru dikarenakan justru dari segi ekonomi, Indonesia telah mengalami kerugian besar akibat ganja dan penyalahgunaan narkoba melalui pencegahan, pemberdayaan, pengawasan, rehabilitasi maupun pemberantasannya. Lapas di seluruh Indonesia per Agustus 2021 telah menampung 151.303 orang dengan narapidana kasus narkoba sebanyak 145.413 atau 96%, dimana angka ini belum meliputi pasien rehabilitasi maupun pengguna aktif di luar lapas (Utami Putri 2022). Bahkan Thailand yang sudah melegalisasi ganja terus melakukan revisi dan pengawasan regulasi dikarenakan tidak terkendalinya penggunaan ganja yang semakin mengkhawatirkan.
Dengan demikian, kurangnya urgensi legalisasi ganja di Indonesia serta belum siapnya masyarakat menjadi alasan utama mengapa regulasi legalisasi ganja sampai hari ini tidak bisa disahkan karena berpotensi tinggi disalahgunakan bagi oknum, bandar, pengedar, maupun penyalahguna yang dikhawatirkan merusak generasi bangsa atau lost generation di masa yang akan datang. Masalah terbesar yang dimiliki saat ini adalah penanganan P4GN (Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika) melalui kolaborasi aparat penegak dan masyarakat yang taat hukum untuk menekan prevalensi penyalahgunaan narkoba yang terus meningkat dari tahun ke tahunnya bisa diatasi.
Referensi:
- Ika. 2022. “Guru Besar UGM Sebut Ganja Tidak Perlu Dilegalisasi Meski Untuk Keperluan Medis.” Ugm.Ac.Id, July 2022. https://www.ugm.ac.id/id/berita/22676-guru-besar-ugm-sebut-ganja-tidak-perlu-dilegalisasi-meski-untuk-keperluan-medis-p.
- Utami Putri, Widha. 2022. “Indonesia Drugs Report 2022 Pusat Penelitian, Data, Dan Informasi Badan Narkotika Nasional (Puslitdatin BNN).”
- World Health Organization Department News. 2020. “UN Commission on Narcotic Drugs Reclassifies Cannabis to Recognize Its Therapeutic Uses,” 2020. https://www.who.int/news/item/04-12-2020-un-commission-on-narcotic-drugs-reclassifies-cannabis-to-recognize-its-therapeutic-uses.